WAKTU ADALAH NYAWA PASIEN

Monday, November 1, 2010

Beberapa minggu ini ada beberapa kuliah yang sangat menarik, khususnya tentang bagaimana terjadinya evolusi kesehatan secara global yang belum sempat saya bahas dan disampaikan kepada siswa dengan sangat cerdas. Yang semula saya hanya berfikir bahwa dahulu ya sistem kesehatan nasional ya memang sudah terbentuk dari sistem juga tidak lebih, tetapi kuliah ini menghancurkan itu semua, dan itu sangat menarik. Mungkin akan saya ceritakan tentang isi kuliah yang saya dapat kepada para pembaca dengan bahasa saya sendiri.

Dimulai dari tahun 1400 M,
pada zaman itu benua eropa sedang terserang wabah yang sangat mematikan yang mereka sebut "black death" atau pada saat ini penyakitnya dikenal dengan nama PES yang didasari sebabnya oleh perdagangan bebas yang mengakibatkan pertukaran penyakit terjadi secara bebas juga. Sejak saat itu setiap kapal yang membawa suatu penyakit menular yang serius akan dikibarkan bendera kuning diatas kapalnya sehingga mereka tidak diperkenankan berlabuh demi keamanan. Mereka akan menunggu berhari-hari bahkan berbulan-bulan sampai dinyatakan aman. Pada saat itu terbentuklah Colonial Medicine (yang nantinya akan menjadi Tropical Medicine) di eropa dengan pusat di london Inggris. Lama kelamaan karena penyakit juga berevolusi dengan pesat, diselenggarakannya Int'l Sanctuary Conferences yang nantinya menjadi OIHP sebagai cikal bakal WHO.

Tahun 1946,
perang yang terjadi antara Amerika dengan Uni Soviet ternyata juga melibatkan negara-negara tropis. Ketika Amerika menjajah negara tropis banyak tentara Amerika mati dikarenakan wabah Malaria. Karena khawatir dengan kondisi seperti ini, Amerika mendirikan organisasi yang disebut Office Control of Malaria atau dikenal dengan nama Center of Disease Control (CDC). Setelah berakhirnya perang tercetuslah gagasan untuk mengeradikasi malaria secara menyeluruh/global, yang dinilai gagal. Di indonesia dikenal dengan nama Komando Pemberantasan Malaria yang sekarang sebagai kementrian kesehatan.

Tahun 1959,
Uni Soviet mencetuskan eradikasi Small Pox yang dinilai sangat sukses mengeradikasi virus tersebut secara global. Karena keberhasilannya ini, Uni Soviet pun mendapat dukungan politis dari berbagai negara. Akan tetapi, karena terjadinya konflik internal akhirnya Uni Soviet pun terpecah.

Tahun 1978,
pada tahun ini WHO yang diketuai oleh dr.Halfdan Mahler mencetuskan gagasan global mengenai Health for All dengan konsep Comprehensive Primary Health Care, dikarenakan cost yang dinilai terlalu tinggi, gagasan tersebut dikalahkan  oleh gagasan baru yaitu Selective Primary Health Care pada tahun 1979 dengan back-up yang luar biasa hebat antara lain: World Bank, USAID, UNICEF, Rockefeller, dan Ford Foundation.

Tahun 1982,
UNICEF mengeluarkan gagasan baru yaitu Growth Monitoring,Oral rehydration, Breastfeeding, Immunization. Lebih dikenal dengan GOBI. Pada masa Neo-Liberal evolusi kesehatan ternyata terpengaruh oleh adanya krisis BBM sehingga berdampak:
  1. Pemotongan belanja pemerintah termasuk kesehatan.
  2. Terjadi privatisasi di semua sektor.
  3. Terjadinya desentralisasi.
Tahun 1985,
Amerika menyatakan keluar dari program WHO karena dianggap merugikan bagi mereka yaitu pada program:
  1. Program obat esensial.
  2. Breast milk substitutes.
Tahun 1990an,
pada tahun ini kebijakan-kebijakan kesehatan tidak dipegang oleh WHO melainkan oleh World Bank dikarenakan berkurangnya dukungan-dukungan pada WHO. Pada tahun ini juga tercetus Ending Poverty in 2025 sebagai cikal bakal Millenium Development Goals. Dimana isinya mengenai langkah-langkah yang diharap akan tercapai tidak hanya dibidang kesehatan. Akan tetapi uniknya hampir semua langkah-langkah tersebut diisi oleh aspek kesehatan.

Tahun 2000-sekarang,
pada tahun ini munculah pemain baru yaitu seorang independen pendiri microsoft dan juga sebagai orang terkaya di dunia. Siapa lagi kalau bukan Bill Gates dan juga anaknya Melinda Gates dengan gebrakan mereka yaitu, Technological Fix for Global Health. Mereka mengucurkan dana kurang lebih sebesar $750milyar yang $100milyar nya di fokuskan untuk vaksin AIDS. Mereka tidak butuh berdiskusi kepada sebuah team karena yang mereka keluarkan adalah uang mereka pribadi. Dan Gates juga kembali menyinggung tentang eradikasi Malaria yang pernah dianggap gagal pada tahun 1946. Gebrakan mereka sangat bagus, hanya kurang pengontrolan dari dana yang sudah mereka keluarkan sehingga kurang dimanfaatkan maksimal.

Kesimpulan
Sangat menarik untuk membahas sejarah, khususnya kesehatan(bagi saya) apa lagi  mengingat kita tidak bisa terlepas dari sejarah kita sendiri. Dimana suatu Kementrian Kesehatan(KEMKES) yang ternyata hanya tercipta dari suatu gerakan pemberantasan malaria. Dapat saya ambil hikmah dari kutipan kuliah diatas. Yaitu,
"1000 langkah kedepan pasti dimulai dengan 1 langkah kecil "





Sunday, October 31, 2010

Kehebatan kompetisi

Judul diatas sangat erat kaitannya dengan bahasan saya pada post ini. Kita tidak akan bisa berkembang tanpa adanya kompetisi. Kompetisi berkaitan erat dengan masa depan dunia kedokteran dimana akan diperbolehkannya pertukaran tenaga kerja, khususnya kesehatan untuk datang ke indonesia baik dengan dengan tujuan menambah wawasan atau secara sukarela membantu di tempat-tempat di indonesia yang terpencil bahkan bukan tidak mungkin mereka akan bekerja. pertanyaannya,

Mereka pun bersaing untuk dapat
membuahi ovum
"siapkah kita menghadapi itu?"
mau tidak mau kita harus menjawab,
"siap!"
ya, misal ada suatu rumahsakit besar yang berada dalam suatu wilayah dengan tidak ada rumahsakit lain maka lama-kelamaan kualitas yang dimiliki rumahsakit tersebut akan menurun. Lain halnya bila ada lebih dari 1 rumahsakit maka mereka akan meningkat kualitasnya karena adanya kompetisi/persaingan.


analogi lainnya,
jika dua barang dengan harga yang sama tetapi memiliki kualitas jauh lebih tinggi barang pertama, dapat dipastikan barang ke-dua hampir tidak akan terjual.

Dengan adanya kompetisi mau tidak mau kualitas pelayan kesehatan di indonesiapun akan meningkat karena persaingan di masa depan akan sangat ketat. Akan tetapi jangan lupakan dasar pekerjaan kita sebagai "pelayan" kesehatan. Jangan lupa bahwa kita hanya sebagai penjual jasa dan pasien kita sebagai pembelinya, kita tidak berhak atas hidup pasien, dan sudah sewajarnya kita memperlakukan mereka sebaik-baiknya, karena kepuasan mereka adalah suatu media massa yang sangat efektif dan murah.

Kita juga bahagia saat melihat
pasien kita bahagia

Mengapa saya bilang seperti itu, jika pasien puas maka akan tersebar kepuasannya dari mulut ke mulut dimana itu adalah media iklan paling efektif dan apabila pasien merasa kecewa, yang keluar hanyalah caci makian dari mereka. Jadi, perlakukan pasien seperti menangani saudara kita sendiri maka kita akan mendapat banyak manfaat karenanya.

Friday, October 29, 2010

Jurusan Benar Terus?

Mungkin para pembaca aneh ya melihat judul diatas?(sedikit menyimpang dari pembahasan blog ini, tapi ini penting.)
Itulah indonesia, mengapa?
mari kita lihat dari pendidikan awal kita, pendidikan kita sejak kecil itu mengajarkan kita supaya benar terus bukan?yang dihargai yang selalu benar yang punya nilai bagus, yang masuk sekolah ternama, yang bisa ranking 1 terus, ya kan?
padahal coba kita lihat peneliti, dan ilmu-ilmu yang dihasilkan oleh mereka?
apa mereka selalu benar?apa mereka langsung tenar setelah melakukan 1 kali penelitian?
tidak!,
mereka mencoba berkali2, berkali2 juga salah, dicaci-maki ditertawakan, dibilang konyol dan mustahil sampai akhirnya mereka menemukan apa yang masyarakat butuhkan. Mereka berimajinasi, mereka tidak takut salah!
Kalau hanya ingin jadi juara olimpiade baca aja buku yang sudah ada, pahami semua buku yang sudah ada, pasti selalu benar kan?
Pendidikan di indonesia memang belum didisain untuk menciptakan tapi hanya meniru, meniru bangsa yang lebih maju, meniru peradaban yang terkesan modern.
Bagaimana caranya?
"yaitu dengan belajar dari guru!"
taukah anda setelah jepang hancur di lumatkan bom atom, mereka tidak mencari politisi, tidak mencari wartawan, tidak mencari dokter.
mereka mencari guru! ya, guru yang brillian yang menghasilkan generasi-generasi brillian yang menjadikan jepang sebagai negara yang brillian sampai sekarang. Kita jangan meniru mereka, tapi belajar dari mereka, belajar dari cara mereka bangkit!jangan pantang menyerah walaupun anda gagal terus, cari jalan lain jika jalan yang seharusnya sudah buntu, terus menciptakan pemikiran maju dan imajinasi!tidak ada yang salah dalam pemikiran, untuk itulah otak kita diciptakan!subhanallah.

Yak, kembali ke topik utama.
Saya tergelitik untuk mengkritik sistem pendidikan yang saya alami, bagaimana tidak?apa yang kita pelajari sehari-hari hanya dinilai dalam beberapa jam saja, bagaimana aspek yang lain?dimana tempat untuk ketrampilan?apakah ketrampilan sudah menempati tempatnya yang sesuai dalam sistem penilaian?saya mungkin akan lulus dalam waktu dekat, tapi apakah saya lulus hanya untuk mendapatkan gelar dan pujian?
"saya yakin apa yang saya dapatkan belum maksimal,"
"saya yakin saya bisa lebih baik lagi,"
"saya yakin bila diberi kesempatan saya bisa menunjukkan yang terbaik,"
tapi apakah sistem penilaian seperti itu cukup untuk menentukan masa depan saya?
apakah sebagai tolak ukur kepandaian seseorang?
atau sebagai diskriminasi pendidikan?
"yang nilainya bagus, bangga dan di sanjung-sanjung"
"yang nilainya jelek, terhina dan merasa dihina"
"yang nilainya bagus dihormati"
"yang nilainya jelek dianggap tidak berguna"
lalu, apa maksud nilai tersebut?
sebagai tolak ukur?
mengukur sebesar apa daya serap siswa?
apakah lantas diajari berkali-kali dengan baik?di refleksi kesalahan-kesalahan waktu pengerjaan soal?
tidak!, paling mereka hanya disuruh remidi dan belajar sendiri!
lalu, buat apa tolak ukur itu?

penulis hanya ingin menyampaikan celotehan yang kurang berpengalaman kepada kita semua khususnya penulis sendiri sebagai refleksi, karena manusia tidak sempurna pasti ada banyak kesalahan penulisan dalam celotehan diatas. terimakasih karena sudah meluangkan waktu membaca tulisan yang kurang berbobot ini :)

Thursday, October 28, 2010

Bencana atau ajang politik?

Hmmmmm,
"ayo siapa yang mau membantu korban bencana?"
"siapa mau jadi relawan?"
"ayo buruan ke tempat bencana, buruan bantuin korban!"
kata-kata yang paling sering terdengar hari ini. Entah di layar kotak berisi gambar bergerak atau dari benda bergerak dengan raut panik.
Hmmmmm,
kita boleh saja bersimpati kepada para korban, walaupun mereka sebenarnya tidak mau diberi simpati, mereka juga ingin tidak merepotkan kita, mereka juga ingin mandiri, siapa yang ingin bencana terjadi?. Cobalah kita berempati, cobalah kita berfikir bagaimana kalau keadaan kita seperti mereka sekarang?
"apa dengan kalian berbondong2 datang keadaan akan semakin membaik?"
"apa dengan kalian tinggal disana menemani mereka, mereka akan merasa teringankan?"
"apa mereka ingin tinggal di barak dengan overload orang dan ditambah hiruk-pikuk "relawan-relawan" mereka merasa sangat aman dan nyaman?"
"mereka pasti menginginkan rumah yang nyaman dengan segala kebutuhan mereka."

seperti yang terlihat dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, "mereka" yang mempunyai kewenangan dan tanggung jawab akan kita para rakyat, mereka datang sebagai malaikat mendata dan mensurvey tempat kejadian untuk memenuhi kebutuhan yang memang dibutuhkan korban.
"wow, benar sekali kenapa tak terpikirkan oleh saya, mereka punya uang!"
ya benar tidak dapat dibantah lg bahwa uang sangat berperan penting dalam menangani berbagai bencana, tapi apakah benar dana yang luarbiasa besar itu hanya dialokasikan pada saat2 "akut" saja?bagaimana follow up mereka?bagaimana kedepannya kehidupan mereka?apakah memberi bantuan instant mendidik para korban?bagaimana bantuan terhadap mental mereka?

tidak dapat dipungkiri seperti yang terlihat di media massa, mereka tidak hanya membutuhkan bahan makanan, mandi, masak........dll
heii,
mereka juga manusia, mereka juga butuh hiburan,mereka butuh tempat tinggal yang layak, mereka butuh teman bicara, mereka butuh diperhatikan lebih tidak hanya sekarang!, mereka butuh perhatian agar mereka dapat kembali merekonstruksi diri mereka, masyarakat mereka, populasi mereka agar dapat kembali lagi melebihi sebelum terjadi bencana sebagai masyarakat yang lebih berpengalaman lagi.

Tuesday, October 26, 2010

Idealisme Pembayaran(menurut penulis)

hari ini hari yang singkat,hariku dimulai dengan terburu-buru karena kesalahan jadwal....mungkin saya yang kurang memperhatikan jadwal..kulangkahkan kakiku ke lantai 5 ruang kuliah kampus kerakyatan di jogja..diskusi dimulai agak terlambat dari jadwal yang tertera, tapi ya sudahlah(seperti judul salah satu grup band yang saya sukai) toh hanya terlambat 2 angka saja..

saya tangkap dari diskusi hari ini tentang efektivitas pembayaran tenaga kesehatan di indonesia, khususnya dokter karena seluruh ruangan dipenuhi calon-calon dokter aset negara dimasa mendatang.

sistem pembayaran yang diutarakan mungkin sama dengan prinsip pembayaran dokter keluarga,sistem pembayaran asuransi,bahkan sistem dokter perusahaan, dimana pada intinya pembayaran dilakukan di awal dengan harapan dokter akan mengusahakan melakukan tindakan preventif dan edukatif kepada pasien agar mendapatkan pemasukan lebih banyak dengan batasan-batasan penyakit tertentu dimana biaya pengobatan penyakit yang advance(berat) harus dilakukan swadaya...

yahh,
timbullah pikiran saya, dimana batasan penyakit berat itu dimana?dan bagaimana pengaturannya?
setelah berfikir sedikit lama dengan pemikiran saya yang praktis ini, saya kembali berfikir pada sistem asuransi dimana ada perbedaan pembiayaan.

analoginya, asuransi motor hilang dgn asuransi motor kecelakan berbeda kan harganya?. Mungkin pembaca bingung ya dengan pernyataan saya.
Baik, mari kembali lagi kepada sistem kesehatan, bagaimana jika dilakukan suatu survey pada daerah jangkauan dokter tersebut dan di data 20 bahkan lebih penyakit yang paling sering menyerang penduduk. Dengan begitu kita dapat menklasifikasikan pembayaran dimana jika seseorang mengambil asuransi hanya sebatas 1-10 penyakit terbanyak akan jauh lebih murah jika seseorang/kepala keluarga mengambil 1-20 penyakit terbanyak dengan dibagi dalam beberapa tingkatan pembayaran, cukup efektif kan?

akan tetapi pemikiran ini pun menimbulkan kendala, kita lihat dari pandangan penduduk dimana mereka akan berfikir:
"saya jarang sakit, trus kenapa saya harus membayar terus?"
"biaya yang saya bayarkan tiap bulan lebih besar daripada intensitas dan keparahan sakit saya"
nah disitulah peran promosi kesehatan, dimana harus memberikan positif-negatif pengadaan sistem pembayaran seperti itu dengan lebih edukatif dan tidak memaksa.

"terus bagaimana dengan penduduk yang tidak mampu, pasti dia mengambil yang paling murah kan?"
"apa lagi kalau tidak mampu membayar bagaimana?"
pembayaran kan tidak perlu harus menggunakan uang. Mereka bisa menggunakan tenaga mereka setelah mereka kembali sehat, mungkin untuk membantu dokternya?jangan sedikit-sedikit minta-minta kepada pemerintah, kita bukan rakyat yang manja, kita harus bisa mandiri jangan tergantung kepada pemerintah.

pasti ada banyak kesalahan di tulisan saya, karena penulis juga manusia biasa yang tidak mempunyai pengalaman tetapi mencoba untuk berbagi pemikiran yang singkat dan sebisa mungkin ditulis agar mudah dipahami pembaca.
Perkenalan dulu ya, nama saya sidhik permana putra atau kerap dipanggil sidhik saya seorang siswa di salah satu universitas di jogja yang kebetulan dibidang kedokteran yang insyaallah sebentar lg akan lulus. Dalam blog ini seperti judulnya saya hanya ingin mengungkapkan pemikiran2 dan pengalaman2 mungkin, tentang dunia kesehatan walaupun penulis disini masi sangat hijau untuk berbagi,"tapi tidak salah juga kan untuk dicoba?".

Mungkin berbeda dengan para pembaca(kecuali yang se profesi) , sistem di kedokteran menggunakan sistem block dimana kita diharuskan mengambil mata kuliah yang sudah ditentukan(tidak bisa tidak diambil).

Kebetulan saya masuk pada angkatan terfavorit bagi saya, angkatan 2007 dimana terdapat pergantian kurikulum setiap 4 tahun sekali. Dengan harapan yang sangat besar bahwa kurikulum terbaru pasti akan lebih baik dari sebelumnya. Saya bertanya kepada diri saya sendiri,
"apa sih yg aku harapkan menjadi seorang dokter?" apa lagi saya yang memiliki sifat sanguinis cuek tetapi introvert. Berharap seperti di negeri dongeng menjejakkan kaki di dunia perkuliahan, ternyata tidak sesederhana itu. Banyak kendala yang harus dihadapi, bebanpun semakin banyak. Mungkin kebanyakan dari kami berfikir,
"saya masuk sini dengan biaya tidak sedikit, harus bisa ngembaliin modal dulu baru pikirin kemanusiaannya". Pemikiran tersebut sangat logis walaupun salah menurut saya. ada sebuah kalimat yang sangat menggelitik saya,
"taukah anda sekalian, beliau yang kalian hujat itu dulunya juga meneriakkan suara seperti anda."

Hahhhhhhhh.....
ya, kata itulah yang sangat pantas menggambarkan perasaan saya sekarang, antara kesal, bingung, dan mungkin kelelahan. Hari ini ada suatu diskusi "terbuka" terkait penambahan materi di perkuliahan sebanyak 72jam secara tiba-tiba, saya tidak terkejut karena sudah mendengar kabar tersebut terlebih dahulu.
ada beberapa hal yang saya anggap lucu,
"beliau yang di depan kami itu siapa sih?" sentak saja saya tertawa ketika mendengar salah satu teman bertanya seperti itu. bahkan salah seorang yang paling memegang andil dalam sistem kurikulum pendidikan pun beberapa mahasiswa belum mengenalnya, dimana kami sekarang notabene sudah di jenjang akhir pendidikan. Timbullah pemikiran saya,
"selama ini mengapa teman-teman selalu menyalahkan mereka?mau disalahkan seperti apapun merekalah yang paling benar, terus kenapa masi saja berharap?"
saya bukan seseorang yang pintar tapi juga bukan orang yang menyalahkan sistem,
"Mobilpun bisa menabrak karena ada yang mengendarai"